Chap I
“Masuk!” Vanka berteriak mengejutkanku.
“Waaahh!!” dengan terkejut aku ikut bangkit berdiri dan memutar rumbai
rafia di tanganku. Di tengah lapangan terlihat lima orang pemuda yang
saling berpelukan satu sama lainnya, sementara lima pemuda lain dengan
kepala menunduk dan menyeka peluh beringsut malas kembali ke posisi
masing-masing.
Di sana ada Lucas.
“Keren, Dee!” Vanka menyenggol lenganku dengan sikutnya. Kurasakan
wajahku memerah. Memang hanya Vanka yang tahu kalau aku menyukai Lucas
sejak pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini.
Lucas, cowok kelas 3 IPS 2, 178 cm dengan poni yang mencapai dagu, salah
seorang kaum selebritis yang menghuni sekolah. Atletis, dari keluarga
berada, bandel tapi menawan dengan alis tebal dan mata yang tajam. Tak
heran semua gadis di sekolah mendambakannya. Termasuk aku? Tentu saja.
Kulihat Lucas berhasil merebut bola dan berlari menuju daerah lawan.
“Sciss!!” kudengar Lucas berteriak dan dua orang anak kelas tiga lainnya
berlari ke kanan dan ke kiri. Lucas mengumpan dan berlari menyusup ke
balik defender lawan. Bola di-passing dua kali menyilang, melewati
tamparan pemain lawan.
“Lucas!” Pemain terakhir yang membawa bola berseru dan melemparkan bola
pada Lucas yang entah sejak kapan sudah berdiri di bawah ring. Kulihat
Lucas meleletkan lidahnya, membungkuk dan melompat lembut ke belakang
seraya melemparkan bola melambung melewati jangkauan para pemain lawan.
Riuh sorak sorai terdengar saat bola memasuki ring. Aku, Vanka, dan
gadis-gadis rok mini di sebelah kami bersama-sama berdiri dan berteriak
histeris.
Lucas, sungguh mempesona.
“Thanks,” Lucas tersenyum dan meraih botol plastik yang kusodorkan.
“Mainmu bagus,” ucapku tanpa berani memandang wajahnya. Kucoba
menyibukkan diri dengan membereskan kaus pemain ke dalam tas kain kotor.
Bukan pekerjaan yang menyenangkan, tapi dengan begini aku bisa masuk ke
dalam kamar ganti pria. Dan tentu saja bertemu Lucas.
“Ayo, Luke,” segerombolan pemuda datang dan menghampiri Lucas. Kulihat
dari sudut mataku, mereka bersama-sama melakukan toast, seperti yang
mereka lakukan setelah terompet pertandingan berakhir dibunyikan tadi,
lalu tertawa-tawa dan saling memuji sebelum akhirnya berlalu.
Ah, betapa bodohnya aku.
Bahkan Lucas tidak memandangku.
Kubereskan sisa baju yang masih berserakan di atas bangku. Sejenak
merasa menyesal mengapa aku menggantikan kerjaan Indri. Yang pasti
sekarang gadis itu pasti sudah ikut bersenda gurau di luar.
Mendadak tanganku menyentuh kaus merah bernomor dua puluh dua itu.
Kupejamkan mataku dan mendekatkan kaus itu ke hidungku. Aroma Lucas. Bau
keringatnya. Bau laki-laki yang kusuka.
“Hey anak gila!” menadadak kudengar suara Vanka di arah pintu keluar.
Dengan wajah panas kumasukkan kaus itu ke dalam tas cepat-cepat. Tapi
Vanka sudah mendekat dan mencubit pipiku, “Dasar. Tadi si Indri bilang
kalau kamu mau menggantikan tugasnya dia. Ternyata hanya untuk menciumi
baju cowok.”
“Ngga kok,” tukasku membela diri. Tapi mana mungkin rona di wajahku bisa
menipu sahabat terbaikku. Vanka tertawa dan membantuku memasukkan sisa
baju kotor.
“Ayo keluar, Dee. Nanti Lucas keburu pulang. Kan sayang hadiahnya kalau ngga jadi dikasih.”
Hadiah?
Astaga, benar juga. Ternyata untuk itu aku menggantikan tugas Indri
tadi. Mungkin karena terlalu terpesona aku sampai lupa tujuanku semula.
Perlahan kuraba kotak kecil yang terselip di balik pinggangku. Masih
ada.
Vanka menyeretku keluar.
“Jangan cepat-cepat,” ucapku dengan jantung mulai berdebar.
Di luar gedung olahraga, tampak beberapa orang pemuda sedang melakukan
foto bersama sambil mengangkat piala di atas kepala mereka. Di sana ada
Lucas, berdiri paling depan. Keren sekali.
“Ayo ikutan foto,” seru Vanka padaku, dan sebelum aku sempat berdalih, Vanka sudah menyeretku mendekati kerumunan anak itu.
“Hey, cheerlie ikutan foto dong,” seru Vanka dengan nada genit pada
kerumunan pemuda itu. “Sini, Non!” salah seorang dari mereka mengulurkan
tangan dan merangkul bahu Vanka. Vanka hanya tertawa. Genit benar, tapi
bagiku malah terlihat lucu. Vanka memang begitu anaknya. Like to tease
guys.
“Kamu di sini saja,” Vanka meraih lenganku dan jantungku berdegup kencang saat bahu kiriku menyentuh lengan Lucas.
“Auch,” desisku dan memandang protes pada Vanka yang mengedipkan matanya.
“Sori,” kudengar Lucas berkata sambil memandangku.
Sori? Waaaaaahhhh!!
“Aku yang sori,” ucapku terbata-bata. Masih aku tak berani menatap wajahnya.
“Tiga!!”
Sebuah kilatan cahaya menarik perhatianku.
Astaga. Kan aku belum siap-siap.
Kudengar Lucas berseru memprotes.
“Ayo Dee! Now or never!” Vanka membisiki saat kerumunan pemuda itu
bubar. Kulihat Lucas sudah menghampiri genio hitamnya yang terpakir di
pinggir jalan. “AYO!!” Vanka meraih tas di tanganku dan mendorong
tubuhku.
“Vanka!” desisku sebal. Tapi Vanka hanya mengedipkan matanya dan berlalu menuju tempat panitia.
Now or never.
Kuberanikan diriku dengan sekali lagi menghela nafas panjang-panjang.
“Luke,” sapaku. Ya, ampun. Kok jadi bergetar begitu.
Lucas membalik tubuhnya dan menatapkku dengan pandangan bertanya-tanya.
Kuulurkan tanganku ke belakang, meraih kotak kecil di selipan bajuku dan
menyodorkannya dengan kepala tertunduk.
“Selamat Valentine,” desisku memejamkan mata. Rasanya ingin menangis saat itu juga.
“Hey, thanks.” Kudengar Lucas tertawa kecil dan meraih kotak di
tanganku. Sudah! Dengan menutupi wajahku yang panas kubalikkan tubuh dan
berlari secepat mungkin menuju ke arah Vanka. Masih kudengar Lucas
tertawa di belakangku. Dan kini ia akan menganggapku gadis aneh. Setelah
memberi hadiah, lalu lari.
“Bodoh!” ucap Vanka seraya mengangkat kepalaku dan mencubit hidungku.
“Kan aku malu,” isakku sejujur-jujurnya. Vanka tertawa lalu mengusapkan tissue ke wajahku, “Kamu memang merepotkan.”
“Sori ya, Vanka.”
Lagi-lagi Vanka tertawa.
Aku jadi ikutan tertawa sambil menangis.
Chap II
Pagi itu aku sama sekali tidak bisa menkonsentrasikan diriku untuk
mengikuti pelajaran. Bagaimana mungkin? Bahkan lututku saja masih
merasakan getaran ketakutan bercampur rasa malu akibat kejadian kemarin.
“Siapa yang bisa menunjukkan letak selaput menings? Dita?”
“Dee,” Vanka menyenggol sikutku dangan bahunya.
“Hah?”
Terlambat. Bu Ester sudah mendekati bangku kami dan membungkukkan tubuhnya lalu menatap mataku dalam-dalam. “Kamu sakit?”
“Iya, Bu. Dita sakit sejak tadi pagi,” sahut Vanka seraya menginjak
kakiku di bawah meja. Dengan wajah menahan sakit kuanggukkan kepalaku.
“Oh, kalau begitu kamu ijin pulang saja.”
“Ngga usah, Bu. Saya ngga apa-apa kok.”
Bu Ester meletakkan punggung tangannya di dahiku, “Kamu panas. Pulang saja, gih. Saya kasih surat ke tata usaha.”
Panas? Yang benar saja? Vanka juga menatapku dangan pandangan bertanya-tanya.
“Dita sakit? Kok tidak biasanya?” tanya penjaga tata usaha itu padaku
seraya menyerahkan selembar surat ijin. Maklumlah, aku bukan tipe anak
yang suka sakit-sakitan. Setelah mengucapkan terima kasih kulangkahkan
kakiku menuju gerbang sekolah. Saat itu baru aku merasa sedikit pusing.
Mungkin aku benar-benar sedang sakit. Mungkin aku benar-benar panas saat
melihat tiga orang pemuda yang sedang tertawa-tawa di depan kantin.
Lucas. Ya ampun. Apakah dia memandangku?
Kucepatan langkahku seraya tetap menundukan kepala.
“Cewek,” seseorang menyapaku dari belakang.
Lucas?
Kutolehkan kepalaku dan melihat seorang anak kelas tiga berdiri di belakangku.
“Eh?” tanyaku sedikit kecewa karena itu bukan Lucas.
“Hai,” ucap pemuda itu seraya mengulurkan tangan, “gua Guy.”
Dengan alis berkerenyit kutatap uluran tangan itu. Aku sering mendengar
dari teman-teman sesama kelas dua, bahwa anak kelas tiga IPS suka
`mencegat’ cewek kelas dua di depan kantin, apalagi jika mereka sedang
tidak ada pelajaran. Tapi aku baru mengalaminya kali ini. Apa yang harus
kulakukan?
“Loh, kok sombong?” tawa pemuda yang mengaku bernama Guy itu lalu meraih tanganku dan menjabat paksa, “Kenalan.”
“Ih,” desisku dan melepaskan tanganku dari genggamannya.
Sekarang kepalaku benar-benar pusing. Semua anak kelas tiga ini selalu
merasa dirinya paling hebat dan tak ada yang berani melawan mereka
termasuk guru-guru. Menyebalkan dengan semua adegan pemaksaan ini.
Kubalik tubuhku tanpa komentar. Daripada aku roboh saking pusing dan
muaknya, lebih baik aku berlalu.
“Hey, ada adik kelas sombong, nih!” kudengar pemuda bernama Guy itu
berseru pada sahabat-sahabatnya di kantin. Kudengar suara
langkah-langkah kaki mendekat. Aduh, untuk kembali ke ruang guru aku
harus berbalik. Di depanku ada gerbang dan di sana ada penjaga sekolah.
Mungkin sebaiknya aku lari.
“Hey, ini kan gebetan gua yang baru,” mendadak seseorang merangkul
pundakku dan tertawa di samping telingaku. Mungkin aku sudah meronta
sekuat tenaga seandainya tidak terdengar bisikan di telingaku, “Sshhhh,
jangan bergerak.”
“Yeh, Luke. Semuanya deh gebetan elo.”
Luke? Lucas?
Kudengar pemuda yang merangkulku tertawa, “Sori, Guy.”
Ya Tuhan, aku tak berani bergerak se-inci-pun. Menoleh, apalagi.
Lengan yang melingkar di pundakku menekan dan memaksaku melangkah.
Seperti dihipnotis aku menurut saja. Ini Lucas! Lucas!! Oh my God!
Lengan itu mengantarku sampai ke luar gerbang lalu melepaskan pundakku.
“Let’s see,” kudengar pemuda itu berkata, “hey, jangan nunduk terus.”
Berdebar kuangkat kepalaku. Kulihat pemuda yang ternyata memang Lucas
itu tersenyum-senyum menatapku. Ingin rasanya melompat kegirangan, tapi
sebaliknya kakiku malah terasa semakin lemas.
“Thanks cokelat kemarin,” kudengar pemuda itu berkata.
“I…iya,” ucapku gemetaran. Apa yang kulakukan? Pasti aku terlihat bodoh di hadapannya. Aduh, aduh! Tapi Lucas malah tertawa.
“Ya sudah kalau begitu. Take care.” Lalu pemuda itu membalikkan
tubuhnya. Hanya itu? Dee! Alangkah penakutnya! Dan aku masih tidak bisa
ber-inovasi. Hanya melihat Lucas melangkah dan menghilang di balik
gerbang. Ingin aku menangis lagi saat itu juga.
“Hey!”
“Hah?” Kuangkat kepalaku dan melihat Lucas menjulurkan kepalanya dari balik gerbang.
“Dit, lain kali kalau bikin cokelat pakai cetakan saja.”
Dita? Dia memanggil namaku? Dia mengingat nama yang kutorehkan di atas
cokelat berbentuk hati itu? Waaaahhh….tunggu apa lagi, Dee? Tapi Lucas
sudah menghilang. Bahkan aku belum sempat bereaksi apapun.
Dan tinggallah aku sendiri di trotoar menunggu jemputan, menyesali
kebodohan dan kepengecutanku. Seandainya saja aku lebih berani saat itu.
Chap III
“Aduh, Dee! Bodohnya kamu!”
“Uwaaa! Jangan begitu dong. Aku kan malu!”
“Lagi-lagi malu, lagi-lagi malu,” Vanka mengomel panjang lebar seraya
memasukkan potongan biskuit ke dalam mulutnya. “Kalau jadi orang itu
yang berani. Kala kamu nggak pernah mencoba untuk berani, paling tidak
sekali, kamu ngga bakalan dapat apa-apa.”
“Tapi aku kan……”
“Malu?” potong Vanka, “Ya namanya cewek ya pasti pemalu kalo ngga
malu-maluin. Tapi cobalah, paling tidak ngajak ngobrol begitu. Dan gua
ingatin, sebaiknya elo move fast, soalnya gua denger-denger nih dari
teman-teman kalau si Lucas sudah pingin nyari cewek lagi. Tau kan? Dia
kan sudah enam bulan putus dari si Vera yang anaknya toko karoseri itu.”
Nyari cewek lagi?
“Aduh, yang cewek-cewek kalo lagi ngegosip serunya,” mendadak sebuah
kepala terjulur dari balik pintu. Dengan sebal kulempar bantal yang ada
dalam pelukanku ke arah kakak laki-lakiku. “Lo nguping tempat lain aja,
Lex!”
Alex malah membuka pintu dan melangkah masuk. “Katanya sakit, makanya gua bela-belain bolos kuliah. Eh, kok malah ngusir.”
Alex menjulurkan lengannya dan mengacak-acak rambutku.
“Alex!” teriakku sebal. Kakakku yang satu itu memang iseng.
“Lex, jalan yuk?” mendadak Vanka berkata dari sebelah. Alex menoleh dan
tersenyum. “Lha kamu pikir aku pulang cuma gara-gara anak manja ini?”
Vanka bertepuk girang, sementara aku memandang sebal lalu meletakkan kepalaku di pinggir tempat tidur.
“Kamu ikut, Dee?” tanya Alex di depan pintu.
“Dee lagi sakit. Kita beduaan aja, deh,” Vanka menyeletuk sebelum aku
sempat menjawab. Alex terkekeh, melambai dan menutup pintu.
“Vanka! Jangan macam-macam!” teriakku sebelum tersenyum-senyum sendiri
melihat kelakuan sahabatku yang sok kenal sok dekat pada semua cowok
itu. Kuraih bantal di kaki tempat tidur dan memeluknya di dadaku.
Lucas, desahku dalam hati.
Aku jadi ingin membuat cokelat lagi.
Kali ini pakai cetakan.
Chap IV
“Untung bukan demam berdarah, hanya panas biasa, “Mama membelai keningku dan tersenyum.
“Kapan Dee boleh masuk sekolah lagi, Ma?”
“Mungkin besok,” jawab Mama lalu menyodorkan piring nasi ke pangkuanku, “makan dulu. Atau mau Mama suapin?”
“Suapin,” jawabku dengan nada manja. Mama tertawa kecil lalu mulai
menyendok suap demi suap ke mulutku. Sejujurnya, aku paling suka bila
Mama menyuapiku, mengingatkanku pada masa kecil yang indah, dan
mengingatkan betapa besar kasih sayangnya padaku.
“Nah, loh anak manja!” mendadak Vanka `nongol’ dari balik pintu.
“Aduh, Vanka. Ketuk pintu dong lain kali,” Mama menegur sambil tersenyum.
“Iya deh, Tan. Maaf,” senyum Vanka dengan wajah tak berdosa. Mama
mengangkat tubuhnya dari sisiku dan memberikan piring nasi pada Vanka,
“Sebagai hukuman kamu yang nyuapin Dee, soalnya Tante mau kembali ke
kantor. Masih banyak urusan.”
“Yah, Tante?”
“Yah, Mama?”
Setelah Mama menutup pintu Vanka menghampiriku dan mendudukkan dirinya
di pinggir tempat tidur, lalu mulai menyuapan nasi di piring ke dirinya
sendiri.
“Laper, yeh?” tanyaku sambil tertawa. Vanka mengangguk-anggukkan kepalanya dan menggumam, “Inyah.”
“Jadi gimana?” tanyaku ingin tahu.
“Mmh,” Vanka langsung meletakkan piring nasi di atas meja rias dan
berusaha cepat-cepat menelan makanan yang masih dikunyahnya, “gempar..
mmm.. geger.”
“Gempar gimana? Geger gimana?” tanyaku was-was.
“Nih, ada oleh-oleh buat kamu dari sekoah,” Vanka merogoh tasnya dan
mengeluarkan sebuah amplop berukuran kartu pos. Dengan tergesa-gesa
kubuka amplop itu dan meraih keluar selembar foto.
“Waaaa,” wajahku langsung memanas melihat foto itu.
Di dalam foto itu tampak beberapa anak yang berdiri berjejer, semuanya
menatap dan tersenyum ke arah kamera. Semua. Kecuali aku dan Lucas yang
saling pandang satu sama lain.
“Itu gosip satu,” Vanka meraih gelas di atas meja dan meminum setengah isinya.
“Satu?” tanyaku penasaran.
“Yang kedua,” Vanka menghela nafasnya lega, “tadi aku ngasi’in cokelat
kamu waktu jam istirahat di kantin. Dan semuanya langsung `gerrrr’.
Alias geger.”
Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya membelalakkan mata.
“Iya,” Vanka meneruskan ceritanya sambil tersenyum-senyum. “Bahkan ada
yang langsung menuduh kalau Lucas sudah punya pacar baru. Bayangkan!”
“Vankaaaaaaaa!!! Tega nian kamuuu!!”
Kuraih leher sahabatku dan menggulungnya di atas tempat tidur.
“Huff.. hufff..” Vanka berusaha melepaskan dirinya. “kalo ngga kamu lepaskan aku ngga ngasih tahu apa komentar Lucas!”
Aku langsung melepaskannya. Apa? Apa?”
“Tenang, tenang,” Vanka langsung mengambil sikap di atas angin.
“Ayo dong, Vanka!” pintaku tak sabar.
“Dia bilang…” Vanka menarik nafasnya panjang, membuatku semakin penasaran, “dia bilang…. ‘akhirnya ketahuan juga’.”
Nafasku tercekat di tenggorokan. “Yang benar?”
“Benar, seratus persen benar,” Vanka melirikku sambil tersenyum.
“Waaaaaaaaaaa!!!!!” aku dan Vanka langsung bersamaan berteriak hisetris.
Bagaimana aku bisa menemuinya besok?
Apa maksud kata-katanya itu?
Apakah….
Chap V
“Kamu yakin ngga apa-apa?” tanya Alex di depan sekolah. Kuanggukkan
kepalaku dan Alex berkata lagi, “Nanti kalau ada apa-apa kamu telepon ke
rumah saja, biar si Oto yang jemput. Atau kamu telepon hape-ku, kalau
aku tidak kuliah nanti aku yang jemput.”
“Iya, aku tahu.”
“Dan salam peluk cium muah muah buat Vanka.”
“Apa?”
Alex hanya tertawa lalu melajukan mobilnya.
Dasar, umpatku dalam hati lalu berbalik.
Baru saja sampai di pintu gerbang, seseorang menarik tali tas yang tergantung di bahuku. “Biar aku yang bawakan.”
Jantungku berdebar tak karuan. Astaga, ini….ini….
Tapi pemuda itu sudah melepaskan tasku dari bahu dan menentengnya sambil melangkah menuju ke daerah kelas dua.
Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan?
Lucas menghentikan langkah dan membalik tubuhnya. “Ayo.”
Lucas….??
Semua anak kelas dua memandangi kami dengan pandangan yang aneh.
Kutundukkan kepalaku dan mengikuti punggung Lucas yang berjalan di
depanku. Aku merasa begitu tak berdaya saat itu.
Nyaris saja kutabrak punggung pemuda itu saat mendadak Lucas
menghentikan langkahnya. “Nih,” Lucas mengalungkan tali tas di leherku
sambil tersenyum. Wajahku pasti merah sekali saat itu.
“Thanks,” desisku lirih.
“Aku antar kamu pulang?”
Apa? Antar pulang? Ya! YA!!
Kuanggukkan kepalaku.
“Senyum dong.”
Kuangkat kepalaku dan tersenyum. Persis robot.
Lucas tertawa dan berlalu.
“Yang jatuh cintaaaaa!!” Mendadak Vanka dan anak-anak sekelas bersorak
sorai dari dalam ruangan. Kurasakan wajahku memanas. Panas sekali. Jadi
seharian itu semua anak, dikomandani oleh Vanka, menggodaku
habis-habisan. Aku sama sekali tidak berani keluar kelas, malu kalau
bertemu dengan Lucas. Apakah Lucas begitu juga di kelasnya?
Chap VI
Angin dingin menerpa sisi wajahku. Kulihat dari sudut mataku pepohonan
dan kendaraan-kendaraan lain seolah berlari di sampingku. Dan saat ini
adalah pengalaman pertamaku pulang naik sepeda motor. Dan juga, ini
pertama kalinya seorang pemuda mengantarkanku pulang. Dan pemuda itu
adalah Lucas.
Keajaiban? Pasti! Yang penting saat ini aku bingung harus bagaimana.
“Eh,” Lucas memperlambat laju sepeda motornya, “pegangan dong.”
“Hah?” tanyaku tak jelas, lagipula helm ini menutupi telingaku.
“Pegangan,” ucap Lucas dengan nada lebih keras.
Pegangan? Yang benar saja?
“Ayo, nanti kamu jatuh.”
Dengan ragu kulingkarkan lenganku di pinggangnya. Jantungku berdebar
sangat kencang saat sebuah perasaan yang hangat menjalari tubuhku.
“Yang erat,” kudengar Lucas berseru. Sepeda motor melaju lebih kencang.
Kupererat pelukanku sampai pipiku menempel di punggungnya. Kudengar
lucas tertawa dan mendadak sepeda motor yang kunaiki melompat dan melaju
melesat melewati kendaraan-kendaraan lain. Kupejamkan mataku dan
berusaha setenang mungkin. Lucas gila, umpatku dalam hati. Tapi pelukan
ini hangat.
“Ini rumah kamu kan?” tanya Lucas setelah kami berhenti. Kuturunkan
tubuhku dari sepeda motor, melepas helm dan berteriak marah, “Kamu gila,
ya?”
Lucas memandangku tak berkedip. Jangankan dia, aku sendiri terkejut
mengapa aku bisa semarah ini. Apakah karena Lucas memang menjalankan
sepeda motor itu terlalu kencang, ataukah karena pelukan itu terasa
terlalu cepat berlalu.
Lucas membuka helm yang dikenakannya, dan baru kulihat kalau pemuda itu ternyata tersenyum. Ya Tuhan, senyumnya manis sekali.
“Kamu cantik kalau marah,” ucapnya padaku. Wajahku langsung memanas.
“Simpan helmnya. Aku pulang dulu.” hanya itu yang diucapkannya kemudian
sebelum mengenakan helmnya kembali dan berlalu dari hadapanku.
Lucas.. ah, mengapa aku begitu tak berdaya menghadapinya?
…….
“Enak?” Vanka tersenyum menatapku.
“Luar biasa,” desahku seraya memejamkan mata, berusaha mengingat semua rasa yang sudah kualami tadi siang. Vanka tertawa.
“Lalu dia pulang begitu saja?”
Kuanggukkan kepalaku. Vanka mendengus gusar.
“Kok begitu? Dia nggak bilang kalau mau main ke sini atau apa begitu?”
Kugelengkan kepalaku.
“Aneh. Cowok aneh,” Vanka mendesah berulang-ulang, “tapi kalian positif sudah jadian?”
Kuangat bahuku. “Entahlah, Van.”
Suara ketukan terdengar dari balik pintu.
“Ayo, Van. Nanti kita terlambat.”
Vanka bangkit berdiri dan berkata sebelum membuka pintu.
“Hati-hati deh sama cowok yang seperti itu. Siapkan pemanas ruangan.”
Dengan tersenyum kuanggukkan kepalaku. Setelah Vanka menutup pintu baru aku bertanya-tanya. Vanka mau kemana? Astaga, Alex!
Menyebalkan sekali kakak yang satu itu. Dan Vanka juga.
Dan akhirnya Lucas juga. Menyebalkan?
Kutatap helm hijau di sudut kamar dan tersenyum.
Lucas memang dingin. Tapi hangat juga.
Chap VII
Selama dua minggu berikutnya Lucas tidak pernah absen menghampiri dan
membawakan tasku sebelum masuk sekolah, juga mengantarkanku pulang.
Untungnya Mama dan Papa tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula aku
kan sudah mulai dewasa. Dan Vanka semakin dekat dengan Alex, bahkan
mereka seolah menjadian rumahku sebagai markas atau pos. Menyebalkan,
tapi lagi-lagi Mama dan Papa tidak ambil pusing. Tapi hatiku mulai
bertanya-tanya. Mengapa Lucas tidak pernah meneleponku? Mengapa ia tidak
pernah bertandang ke rumah?
“Ya kamu mintalah sama dia,” ucap Vanka lewat telepon.
“Minta? Kesannya kaya gimana begitu,” desahku sedih.
“Aduh Dee,” Vanka menyahut dengan nada gusar. “Berani dikit dong.”
“Bagaimana caranya?”
“Telepon. Kamu sudah tahu kan nomor teleponnya?”
“Sudah, tapi kenapa bukan dia yang telepon. Kan dia juga tahu nomorku.”
“Cowok dingin begitu mesti diangetin, tau!”
“Bingung, nih.”
Tapi Vanka tidak memberikan penyelesaian apa-apa. Hanya terus
mengucapkan kalimat `kamu harus berani’ dan semacamnya. Bagaimana dong
caranya?
…………
“Luke, aku mau nanya sesuatu pada kamu,” ucapku padanya setelah ia megantarkanku pulang keesokan siangnya.
“Apa,” tanya pemuda itu seraya tersenyum dan menatap mataku dalam. Kukuatkan hatiku.
“Kamu mau ke sini nanti malam?”
Dia pasti marah. Dia pasti menolak.
“Sori, tapi aku ngga bisa.”
Hancur sudah.
“Ya sudah kalau begitu,” ucapku nyaris menangis lalu membalikkan tubuhku dan bergegas masuk ke dalam pekarangan.
“Dit,” mendadak terdengar Lucas memanggilku, “kujemput nanti malam jam
tujuh.” Hatiku bersorak girang. Kubalikkan tubuhku hendak tersenyum
padanya. Tapi Lucas sudah berlalu. Tanpa menoleh.
Anak dingin.
…………..
“Anak siapa itu?” tanya Papa di meja makan.
“Teman sekolah,” jawabku dengan mata penuh harapan.
“Anak kelas berapa?”
“Kelas tiga, Pa.”
“Mau keluar ke mana?”
“Aduh, Papa,” sahutku kesal, “ya sudah kalau ngga boleh.”
Rasanya ingin segera masuk kamar dan menangis.
“Sudahlah, Pa. Biarkan saja. Namanya anak muda.”
Lihat, air mata sudah mengalir turun.
“Lho? Yang bilang nggak boleh siapa?” Mendadak Papa tertawa. Dengan
perasaan campur aduk kupeluk Papa dari belakang. Mama tersenyum melihat
kami.
“Tapi ada syaratnya loh, Dee.”
Syarat? Aduh, kok pakai syarat segala?
Chap VIII
“Papamu boleh juga,” senyum Lucas di dalam mobil. Iya, Lucas membawa
mobil ayahnya. Bahkan aku sama sekali tidak menduganya. Sempat tadi
kukira teman Papa yang ingin membicarakan masalah bisnis.
“Yuk, ikut aku,” mendadak Lucas berkata.
“Ke mana?”
“Ada deh.”
Lucas hanya tersenyum dan melajukan mobilnya.
“Hai,” Lucas menyapa semua anak muda berpakaian seadanya yang berjejer
di pinggir jalan itu. Dengan khawatir dan sedikit takut-takut kuikuti
Lucas mendekati anak-anak muda itu.
“Hai, Luke,” salah seorang dari mereka yang berambut panjang menyapa.
“Wah, ada cewek. Cewek kamu, Luke?”
Lucas menatapku dan tersenyum, “Oh, iya. Kenalin ini Dita.”
Keenam anak muda itu, empat cowok dan dua cewek masing masing
mengenalkan diri mereka padaku. Setelah saling berkenalan, aku baru tahu
bahwa anak-anak itu ternyata tidak seburuk penampilan mereka yang
awut-awutan.
“Sudah siap?” mendadak Lucas berkata.
“Yo’a, maan.”
“Ke mana, Luke?” tanyaku saat Lucas membukakan pintu mobil.
“Look and see?” jawab Lucas pendek.
Lucas menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah dengan garasi besar.
Dengan bertanya-tanya kuikuti Lucas dan anak-anak lainnya, yang sudah
datang dengan sepeda motor, ke dalam.
Seorang bapak setengah baya menemui kami sambil memerlihatkan deretan gigi yang bersih. “Mau dipakai sekarang?”
“Yap,” sahut Lucas, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari saku bajunya dan menyerahkannya pada si Bapak.
“Allrighty,” salah seorang dari keenam anak muda di sebelahku berseru girang.
“Let’s hit the road!” Lucas menyahut dengan tertawa-tawa lalu membuka
pintu kecil di sebelah ruang tamu. Dengan ragu kuikuti anak-anak muda
itu dan Lucas masuk ke dalam pintu kecil tersebut.
Ruangan kedap suara itu membuatku kagum. Baru pertama kali ini aku
melihat perangkat musik sekian banyaknya menumpuk dan berjejer rapi dari
dinding yang satu sampai dinding yang lain di depan mata.
“Lucas, ini….”
“Ssshhh,” Lucas meletakkan telunjuknya di bibirku dan menuju ke kursi di
belakang drum set. Lucas mengambil dua batang tongkat kayu kecil dan
menggerakkan tangannya secepat kilat, memukuli semua tabung drum set itu
menimbulkan irama yang terdengar menarik di telingaku. Keenam anak muda
itu tertawa-tawa dan tiga di antara mereka langsung mengambil perangkat
musik lain dan mulai memainkannya mengiringi Lucas.
Ternyata.
“Dee,” mendadak Lucas berseru di tengah hingar bingar suara musik, “yang
satu ini judulnya Patch the Dreams. Karangan anak-anak.”
Kupasang telingaku baik-baik.
So it told that when dreams come true
Then the sadness be blown away
When the path is clear and the dream patched
Suddenly happiness answers the pray
So it told that when dreams come true
Your hopes be bloom and will never dry
Then let’s keep it’s way and the dream patched
Cause it’s the only need so you’ll always sway
And so it’s told
(Then let the dreams..dreams…)
And so it answered
(Then let it be patched..patched…)
And so goes sad
(Then let the dreams..dreams…)
And so be sway
(Then let it be patched..patched…)
Tanpa terasa irama melodi gitar blues mulai membuai dan mengajakku
terseret ke dalam nyanyian itu. Tanpa sadar pula bibirku mulai bergerak
dan ikut bernyanyi. “Then let the dreams..dreams…Then let it be
patched..patched…”
…….
“Kamu suka?” tanya Lucas di dalam mobil. Jam sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Kuanggukkan kepalaku sambil tersenyum. Kuraih tissue di
atas dasboard dan mengusapkannya ke kening Lucas yang masih tampak
sedikit berminyak. Pemuda itu ikut tersenyum.
“Kenapa bukan masalah cinta?” tanyaku sekedar ingin tahu.
“They said `life is but a dream, and so does love’.”
Kutundukkan kepalaku dan mulai merasakan keraguan dalam hatiku. Apakah
mungkin itu yang dipersepsikan oleh Lucas sehingga ia menjadi begitu
dingin? Lalu adakah cintanya padaku?
“Dee…?”
“Ya?” tanyaku, tanpa sadar air mata mulai menyesak keluar.
“Yeh kamu kok nangis. Aku ngga jadi bilang deh.”
Kuseka air di mataku dan menatapnya lagi. Lucas tertawa.
“Belum meyakinkan. Nanti saja deh.”
Aku jadi ikut tertawa.
Malam itu setelah berpamitan pada Papa dan saat aku mengantarnya keluar pagar, Lucas mendadak meraih lenganku mendekat.
“Dee..?”
“Ya?” tanyaku dengan jantung berdebar.
“Be my dreampatcher,”
Lucas mendesis dan mencium bibirku, membuat tubuhku bergetar, nafasku tersengal dan kakiku melemas.
Entah mengapa aku merasa sangat lega mendengarnya.
Chap IX
“APAAA!!!???” Vanka membelalakkan matanya dan membuka mulutnya.
Dengan wajah memerah kuanggukkan kepalaku, “He eh.”
“Gila! Kamu gila! Dia gila! Kalian gila!”
Kami berdua tertawa bersamaan.
“Apa itu dreampatcher?”
“Apa ya?” sejenak aku merasa bingung juga.
“Dream…patch..dream…” Vanka berkomat-kamit sendiri.
“Penempat…mimpi?” tanyaku dengan alis terangkat. Vanka menatapku dengan heran.
“Penempat mimpi? Bahasa apa itu? Apa pula itu?”
“Entahlah,” sahutku. Tapi persepsiku sendiri membuatku melayang ke langit ketujuh.
I’ll patch his dreams, make it come true.
How lovely.
ACT TWO
Sejak kejadian itu aku menyadari bahwa memang Lucas memiliki dunianya
sendiri. Jadi aku tak bisa menyalahkannya seandainya dia jarang sekali
main ke rumah. Itulah Lucas, pemuda dingin yang kusayangi segenap
hatiku. Dan tanpa terasa hubungan kami sudah menginjak akhir bulan yang
kedua.
Chap I
Hari ini benar-benar mengejutkan. Lucas mengajakku keluar malam di atas
jam sembilan untuk yang pertama kalinya. Untung Papa mengijinkan setelah
aku memohon-mohon. Tetap dengan syarat bahwa Lucas harus berani meminta
ijin sendiri. Dan Lucas melakukannya, seperti pada saat pertama kali
pemuda itu mengajakku keluar, dan juga seperti saat-saat lain.
“Kita kemana?” tanyaku di perjalanan. Lukas hanya diam dan tersenyum. Mobil meluncur melintasi jalan raya.
“Hotel?” tanyaku saat mobil yang kami naiki membelok memasuki pelataran
sebuah hotel yang terlihat mewah. Sempat terlintas di benakku segala
sesuatu yang buruk.
“Take it easy,” ucap Lucas menenangkanku, seolah mengingatkan bahwa
modal utama untuk menjalin sebuah hubungan adalah kepercayaan. Dan aku
percaya.
Lucas membawaku masuk ke dalam lift dan menekan tombol 22.
“Dua dua?” tanyaku heran.
Lucas lagi-lagi hanya tersenyum penuh arti.
Lift berhenti dan membuka. Lucas menggandeng lenganku dan melintasi
koridor menuju sebuah pintu yang terbuat dari kaca. Lucas membukakan
pintu dan mempersilahkan aku masuk.
Begitu aku melangkah masuk, angin malam menerpa wajahku. Saat kupandang
sekeliling, ternyata aku ada di atas balkon dengan sebuah meja kecil di
tengah dan dua kursi. Di kejauhan terlihat lampu-lampu kota seperti
bintang di langit.
“Luke,” desahku dan membalikkan tubuh.
“Ssshh,” Lucas memelukku dari belakang dan mencium telingaku.
“Indah sekali,” bisikku lirih.
“Aku tahu kamu pasti suka.”
Mendadak terdengar suara pintu kaca terbuka.
“Starguest service. Tuan Lucas?” terdengar suara laki-laki di belakang
kami. Lucas melepaskan pelukannya dan berbalik. Kutolehkan wajahku dan
terkejut melihat seorang pelayan hotel sudah berdiri di depan Lucas
dengan memegang gerobak besi berisi makanan dan tempat lilin.
Dengan cekatan pelayan itu meletakkan taplak pada meja yang ada di
antara kami, menyiapkan sajian dan menyalakan lilin. Setelah semuanya
siap, pelayan itu tidak pergi, melainkan menunggu di sebelah pintu kaca.
“Luke, thanks.”
“Nanti saja, sesudah makan.”
“Enak?” Lucas bertanya setelah menghabiskan makanan di piringnya.
“Enak, thanks,” sahutku membuat Lucas tertawa.
Lucas bangkit berdiri dan meraih tanganku. “Come.”
Kuangkat tubuhku dan membiarkan Lucas memelukku erat.
“Aku sayang kamu, Dee.”
“Aku juga, Luke.”
Bibirnya menggapai bibirku.
Tak perduli pelayan yang menunggu di depan pintu.
Dan inilah aku, dalam dekapan pemuda yang kucintai, yang mencintaiku, di atas taburan bintang didesah angin malam. So romantic.
Chap II
“Lalu?” Vanka memandangku tak berkedip.
“Sudah, lalu kami pulang.”
“Yaaaahhh,” Vanka melemaskan tubuhnya dan mengeluh, “cuma segitu.”
“Maumu apa?” tawaku melihatnya.
“Masa ngga ada raba sana, raba sini?”
“Ih, jorok.”
“Lho, siapa tahu. Kalian kan sudah gede?”
“Kalau kamu?” tanyaku penasaran.
“Aku? Oh, maksudmu Alex? Ya sudah, dong.”
“Vankaaaa!!!” seruku gusar lalu melempar sebuah bantal ke kepalanya.
Vanka tertawa dan menangkap bantal itu sebelum mengenai kepalanya.
“Masa kamu ngga ingin Dee?”
“Kayanya enggak deh,” jawabku singkat.
“Enak loh.”
“Orang kan beda-beda, Van. Ada yang doyan gituan, dan ada juga yang ngga doyan gituan. Yang pasti aku masih sopan kok.”
“Kurang ajar! Nyindir nih!” Vanka melemparkan kembali bantal di pelukannya kepadaku.
Bagaimana rasanya disentuh pria?
Mendadak aku jadi sedikit takut pada diriku sendiri.
Chap III
Siang itu kepalaku terasa pusing. Tadi aku nyaris pingsan saat melihat
soal ulangan biologi yang begitu rumit. Untung saja aku masih bisa
mengerjakan tiga dari lima soal yang diajukan essay.
“Wajahmu kusut,” ucap Lucas di depan gerbang sekolah.
“Tadi bingung mikirin ulangan.”
“Oh, kasihan,’ ucap Lucas pendek. Dan seperti yang kuduga, hanya begitu
saja. Lucas meraih helm dan mengenakannya, lalu menyalakan mesin sepeda
motor.
“Luke, mau ngga temani aku sebentar.”
“Hmh? Ada apa?”
“Ngga ada orang di rumah.”
Selain itu aku ingin dipeluk, setelah ujian tadi membuatku menderita.
“Oh, okay,” sahutnya lalu memasukkan sepeda motor.
“Luke, duduk,” perintahku padanya. Lucas tersenyum dan mendudukkan
dirinya di atas sofa. Langsung kubaringkan kepalaku di pangkuannya, “Aku
capek.”
Lukas membelai rambutku. Pemuda itu selalu diam dalam melakukan sesuatu.
Terkadang kuharapkan rayuan keluar dari bibirnya, tapi tangannya lebih
banyak bekerja mengungkapkan isi hatinya.
“Mukamu berminyak,” Lucas meraba pipiku. Akhirnya sepatah kata keluar
dari bibirnya. “Mmhh,” gumamku malas. Lucas tertawa dan mengangkat
pahanya lalu mencium pipiku. “Aaaahh, orang mau tidur,” gumamku sebal.
“Sori. Habis kamu kelihatan sok imut banget sih.”
Sok imut?
“Sok imut? Biarin ah.” ucapku pendek lalu membalikkan tubuh dan menyusupkan lenganku di balik punggungnya.
“Apa ini?” kudengar Lucas bertanya.
“Ingin memeluk saja.”
“Ah, Dee. Kamu memang aneh.”
Tapi aku sudah berusaha terlelap.
Entah berapa lama aku terlelap sampai aku merasakan sesuatu menyusup ke
balik bajuku dan mengelus kulitku. “Mmmhh,” gumamku seraya membuka mata.
Kulihat Lucas tersenyum menatapku lembut.
“Tutup mata,” pemuda itu berbisik lirih.
Dalam keadaan setengah ngantuk kututup mataku.
Sesuatu yang ada di dadaku bergerak lembut, seolah menyisiri seluruh
kulit di tubuhku. Kini sesuatu itu bergerak di kulit dadaku dan perlahan
menyusup ke balik bra kain yang kukenakan. Langsung kubuka mataku dan
menatap Lucas.
“Luke…?”
“Katanya ngantuk?” Pemuda itu tersenyum menatapku. Matanya seolah
menyiratkan permohonan yang tak bisa kutolak. Kututup lagi mataku.
Sesuatu itu menyusup ke balik cungkup braku dan menekan payudaraku
dengan gerakan lembut. Satu rasa seolah menghalangiku untuk meronta.
Satu rasa yang tak kuketahui apa. Sesuatu itu bergerak menyusup sampai
menyentuh puting payudaraku. Dan kurasakan gelitik membuat bulu-buluku
meremang.
“Geli,” desahku. Lucas tertawa.
“Dee..?”
“Mmm?”
Lucas mengagkat pahanya dan daguku lalu melumat bibirku. Lama dan jauh lebih lama dari yang pernah dilakukan Lucas sebelumnya.
“Luke,” desahku saat Lucas melepas kancing seragam sekolahku. Tapi Lucas
membalasnya dengan melumat bibirku semakin erat. Perlahan pemuda itu
menyusupkan jemarinya ke balik celah bajuku yang terbuka dan mulai
meremas buah dadaku. Desahan tanpa terasa keluar dari bibirku. Lukas
mengangkat tubuhku dan menidurkanku di sofa lalu menciumi wajah, telinga
dan leherku. Getaran demi getaran aneh membuat pori-pori tubuhku
membuka. Aku tak mengerti apa yang membuatku tidak kuasa menolaknya.
Hanya membiarkan Lucas menciumiku dan perlahan menelanjangi tubuh
atasku.
“Ahh,” desahku saat bibirnya menyentuh puting payudaraku. Dengan gerakan
refleks kuraih kepalanya dan menjambak rambutnya. Rasa ini. Geli dan
mengagumkan. Perasaan ingin berhenti namun tak kuasa. Lucas mengangkat
wajahnya beberapa saat kemudian lalu mengecup bibirku.
“Aku sayang kamu, Dee.”
“Luke….” kupejamkan mataku menikmati kecupannya.
Lucas menyusupkan tangannya ke balik rok sekolahku dan menyingkapnya
sampai ke pinggang. Dalam terkejutku kubuka mataku dan menahan bahunya
dengan lenganku. “Jangan. Aku ngga mau.”
Luke menatap dengan pandangan aneh. “Dee…”
“Nggak, Luke,” ucapku tegas. Lukas menarik tangannya dari bawah rok
sekolahku dan membuka kancing bajunya. Rasa ingin tahu membuatku terdiam
beberapa saat. Dada Lucas begitu putih dan liat. Baru pertama kali itu
aku melihat dada pemuda lain di depan mata selain dada Alex dan Papa.
Lucas memandangku dan menggelengkan kepalanya. “Ngga kok. Aku juga tidak
mau.” Pemuda itu lalu menundukkan tubuhnya dan melumat bibirku. Kulit
dadanya terasa hangat saat menyentuh dadaku. Lucas menggesekkan dadanya
menyapu kedua payudaraku, membuatku mendesah.
Tiba-tiba kurasakan tubuh Lucas terangkat ke atasku dan lututnya membuka pahaku.
“Luke?” kubuka mataku dan menatapnya.
“Nggak, kok.” Hanya itu jawabannya sebelum pemuda itu mendesah nafasnya
dan menjatuhkan seluruh bobot tubuhnya ke atasku. Sesuatu terasa menekan
dan bergerak di pangkal pahaku. Menekan dan menggesek kemaluanku. Rasa
sakit mulai menjalar di bawah perutku. Tapi lagi-lagi rasa sakit yang
disertai oleh rasa tak ingin berhenti.
“Luke, achhh…,” desahku saat kurasakan sesuatu yang menekan-nekan itu
bergerak berirama. Lucas meraih bibirku dan melumatnya. Entah berapa
lama kami berdua tenggelam dalam sesuatu yang begitu menakjubkan itu
sampai akhirnya Lucas menghentikan gerakannya dan mengangkat tubuhnya
dari atas tubuhku.
“Luke?” tanyaku. Entah mengapa seolah aku tak ingin lucas menghentikan
gerakannya. Tapi Lucas sudah menyandarkan tubuhnya di lengan sofa.
Kututup bajuku yang terbuka dan mengangkat punggungku. Lucas tertawa,
membuatku merasa heran.
“Ada apa, Luke?”
Lucas memandang ke bawah dan kulihat di celana seragamnya ada semacam
noda basah. Dengan penuh rasa ingin tahu kutatap matanya dalam. Lucas
mendekat dan mengecup keningku seraya berbisik, “Itu anak kita.”
Ah. Rupanya begitu.
Lucas membetulkan letak rok sekolahku dan memelukku hangat.
“Aku sayang kamu, Dee.”
Sayang? Inikah perwujudan sayang itu?
Inikah yang dimaksud Vanka tempo hari?
“Aku juga.”
Tapi sebuah perasaan bersalah menyelimutiku.
Chap IV
“Lucas berubah, Van.”
“Berubah?” Vanka menatapku dengan pandangan heran. “Maksud kamu?”
Kutatap siswa-siswa lain yang lalu lalang di depanku.
“Entahlah,” jawabku lirih.
“Dee, kamu kenapa?”
“Nope. Nothing,” jawabku mengelak.
………..
“Aku buka, ya?” Dengan nafas tersengal Luke berbisik di telingaku.
“Jangan, Luke,” desahku mengerenyitkan alis. Kulihat kaca mobil sudah dipenuhi embun. Keringat menetes di keningku.
“Please,” matanya memohon. Memohon lagi.
“Sudah, ya?” bisikku seraya memeluk lehernya, berharap lucas
menghentikan semua kegilaannya. Tapi Lucas menarik tubuhnya dan
melepaskan rangkulanku.
“Oke kalau begitu,” pemuda itu meraih dan menarik retsleting celananya. “Ngga mau!” seruku seraya memalingkan wajah.
Lucas sudah gila!
“Dee,” kudengar Lucas mendesah di samping telingaku.
Tidak!
Mendadak Lucas meraih tanganku dan kurasakan jemariku menyentuh sesuatu
yang keras. Ya Tuhan! Kutarik cepat-cepat tanganku. Tapi Lucas meraih
pundakku dan membalikkan tubuhku, melumat bibirku liar dan
membaringkanku di jok. Sejenak kurasakan benda keras itu menusuk celana
dalamku. “Lepaskan! Lepaskan, Luke!!” Tapi lucas menahan tanganku,
menindih tubuhku dengan berat tubuhnya, membuka kedua pahaku dan menekan
benda keras itu ke kemaluanku. “Ahk! Sakit, Luke!”
Lucas seolah tak mendengar teriakanku. Benda itu masih menekan dan
menggesek. Akhirnya dengan sekuat tenaga kutekuk lututku dan menendang
pundaknya. “Lepaskan!!!”
Luke terlempar ke sisi lain mobil. Suara berdebuk terdengar saat
kepalanya membentur jandela. Kulihat Lucas meringis dan memegangi
kepalanya. Air mata mulai mengalir ke pipiku. Kutekuk tubuhku dan
menutupi mulutku tanpa menatapnya. “Aku ngga mau, Luke.”
Kudengar Lucas mendesah lau menjatuhkan kepalanya di pahaku.
“Maafkan aku, Dee.”
“Jangan, Luke. Aku ngga mau.”
Lucas mengangat tubuhnya dan menempelkan kepalanya di bahuku.
“Aku tahu, Dee. Aku juga ngga mau. Aku hanya ingin menunjukkan padamu
tentang segala sesuatunya aku,” pemuda itu berbisik dan mengecup daun
telingaku.
“Dee,” bisiknya setelah aku tetap diam tanpa reaksi. Lucas meraih
pundakku dan mendekapku. Masih tak berani kutatap dirinya. Lucas meraih
tanganku sambil berbisik, “Please,” dan meletakkannya lagi di atas benda
keras itu.
Kututup mataku dan mulai menangis lebih keras.
“Touch me, Dee. It’s me. Aku, Lucas.”
Kurasakan jemarinya melipat jemariku hingga menggenggam benda keras itu.
Sesuatu menghalangiku untuk menolak. Apa maksudnya semua ini? Mengapa
aku jadi begini?
“Look at me, Dee. Buka matamu.”
Aku tak mau melihatmu!
“Dee, please,” Lucas menarik daguku dan mengecup bibirku. “Aku mau kamu
tahu semua tentangku, Dee. Tanpa apapun yang harus dirahasiakan.”
Kubuka mataku dan menatap matanya. Lucas tersenyum dan mengecup kedua mataku.
“Lihat ke bawah. Yang itu milikku.” Suaranya terdengar begitu lembut.
Kutundukkan kepalaku, dan pertama kali itulah dalam hidupku kulihat alat
kelamin seorang lelaki, selain kepunyaan Alex yang masih kuingat saat
kami dulu sering mandi bersama waktu kecil. Bentuknya besar dan panjang
dengan urat-urat yang melingkar. Sesuatu di ujungnya seolah tersenyum
dan mengajakku berkenalan.
“Sudah?” tanyaku pada Lucas. Lucas mendesah.
“Kamu sama sekali tidak tertarik, ya?”
“Ngga,” jawabku terus terang.
“Tapi itu aku, Dee. It’s part of Lucas too.”
Kutatap lagi benda yang masih kugenggam itu. “Lalu?”
Pikiranku kosong. Sesuatu membuatu sakit hati dan kehilangan nalar. Dan
Lucas menunjukkan cara memainkan batang penisnya. Menjijikkan.
“Sudah?”
“Kok nanya begitu terus?”
“Capek,” ucapku pendek seraya masih menggerakkan jemariku menarik-narik
batang kemaluannya. Lucas tertawa. Dan aku membenci tawa itu.
“Kalau begitu ya sudah. Tapi…..”
“Apa lagi?” tanyau memalingkan wajah.
“I want to see you too.”
Jadi begitu ceritanya.
Tersenyum kutatap matanya. Benakku benar-benar kosong.
Dan sesuatu merasukiku.
Kujauhkan tubuhku sampai bersandar ke pintu belakang dan mengangkat
kakiku ke atas jok. Kutatap mata Lucas dalam sebelum memejamkan mataku
dan menarik kepalaku ke belakang. Kurasakan jemari Lucas menyusup ke
dalam rok yang kukenakan, menyingkapnya dan ….
“Sshh,” desisku saat jemari Lucas meraba kemaluanku. Rasa geli yang aneh
menyusup ke tulang punggungku sampai ke otak. “Ahh,” kudengar Lucas
mendesah. “Dee….”
Nyaris kumenjerit saat merasakan Lucas mulai menjilat kemaluanku dengan
lidahnya. Rasa geli yang amat sangat membuatku mengangkat paha dan
menjepit kepalanya di selangkanganku. lidah Lucas bergerak-gerak di
kemaluanku. “Ahk..,” jeritan-jeritan tertahan keluar dari bibirku. Lucas
mengulurkan lengannya dan meremas dada telanjangku dengan gerakan liar.
Tanpa sadar aku mulai menggelinjang dan bergerak ke sana ke mari.
Lucas mengangkat kepalaku, menarik kedua kakiku hingga kepalaku terjatuh
di atas jok. Pemuda itu menarik tubuhnya sendiri dan menindih
kemaluanku dengan kemaluannya. Rasa sakit mulai terasa di perut bagian
bawahku.
“Jangan lakukan, Luke,” desahku.
“Ngga kok,” Lucas mengecup kening dan bibirku, meninggalkan rasa hambar
yang aneh, lalu mulai menggerakkan pinggulnya, menggesek dan menekan,
menimbulkan rasa sakit dan geli yang menyengat seluruh syaraf di
tubuhku. Membuat tubuhku meronta dan menggelinjang, dan suara-suara
desahan keluar dari mulutku. Lucas menunduk dan mengecup bergantian
kedua payudaraku, sementara pinggulnya terus bergerak.
Akhirnya kurasakan pinggulnya menekan dalam permukaan liang kemaluanku.
Semula kukira batang kemaluannya sudah memasukiku, sehingga aku sempat
tersentak kaget. Namun dalam hati aku bersyukur karena ternyata tidak.
Tapi perutku terasa panas. Lucas mengangkat tubuhnya dan melirik ke
bawah lalu tertawa. Keringatnya menetes di dadaku. Ingin tahu kuangkat
pinggangku dan melihat di atas bulu-bulu kemaluanku menempel cairan
lenget berwarna keputihan.
“I love you, Dee,” Lucas mengecup lagi bibirku.
Hatiku hancur.
Chap V
“Kamu kok diam sekali hari ini, Dee? Bukan hari ini saja sih, sejak
beberapa hari yang lalu,” Vanka mengomel panjang lebar keesokan harinya
di sekolah.
Kulirik sahabatku dan tersenyum pahit.
“Entahlah.”
“Dee? Cerita dong. Kamu kan tahu aku sahabat kamu. Dan calon kakak ipar kamu juga sih,” sahut Vanka membuatku merasa geli juga.
“Aku mau memutuskan hubunganku dengan Lucas.”
“HAH?” Vanka terlihat terperanjat.
“Iya. Mumpung belum keterusan.”
“Keterusan? KETERUSAN??”
Dan dengan air mata kuceritakan semua kejadian itu padanya. Vanka mendengarkan dengan mata membelalak.
“Van, kamu apain si Dita kok nangis?” mendadak salah seorang teman
sekelasku menyeletuk. Anak itu langsung kaget ketika Vanka berdiri
tiba-tiba dan memukulkan tangannya ke meja.
“BANGSAT!! Akan kubunuh jahanam itu!”
“Van,” isakku menahan, beberapa anak mulai menghampiri kami.
……….
“Putus?” Lucas menatapku terkejut.
“Yap,” ucapku pendek menoleh ke arah lain. Mungkin lebih tepat disebut
mengalihkan pandanganku daripada aku melihatnya dan menangis.
“Dee, aku…aku…..” Lucas memegang bahuku tapi kusentakkan.
“Sory, Luke. Semuanya sudah berakhir.”
Kulangkahkan kakiku menghampiri Pak Oto yang sudah menepikan mobil di
trotoar. “Dee!! DEE!!” Lucas memanggil-manggil dari balik jendela mobil.
“Jalan, Pak,” ucapku pada Pak Oto.
Kudengar Lucas masih berusaha mengejar laju mobil seraya mengetuk-ngetuk
jendela di samping tempatku duduk. Kupalingkan wajahku ke arah lain dan
mulai menangis. Lucas masih mengetuk.
“Mau saya hajar, Non?” Pak Oto berkata gusar.
Kugelengkan kepalaku lemah. Akhirnya suara ketukan itu hilang. Kubiarkan
tangisku membanjir. Bagaimanapun, setelah semua yang dialami walaupun
hanya dua setengah bulan. Rasa suka dan cinta yang sudah ada sejak dua
tahun yang lalu. Mimpi-mimpi yang jadi kenyataan.
Patched dreams that became true…..
Semuanya berakhir sampai di sini.
Hancur lebur sudah.
Chap VI
Dear Dita,
Mungkin kamu tidak mau membaca surat ini., atau mungkin bahkan tidak mau
menerimanya sama sekali. Tapi, seandainya kamu mau.. tidak… bahkan
seandainya ada seseorang yang menemukan surat ini setelah kamu
membuangnya, membacanya, dan membertahukan isinya kepadamu, aku akan
sangat-sangat bersyukur.
Dita, sekian lama hatiku lebur saat kamu memutuskan hubungan kita.
Semuanya terasa begitu indah walaupun tak sampai tiga bulan. Dan aku…
aku telah merusaknya. Aku tahu itu. Tapi bahkan kamu tidak mau menerima
maafku. Tidak bahkan surat-surat dan telepon yang kutujukan padamu.
Dita, aku minta maaf. Sedalam-dalamnya. Dari lubuk hatiku.
Ini surat terakhir yang mungkin kualamatkan padamu. Aku ingin menemuimu
saat pembagian STTB, tapi teman-temanmu melindungimu dariku.
Kamu selalu `tidak ada’ di rumah.
Ah, aku tak tahu harus berbuat apa.
Aku akan pergi ke London lewat Jakarta. Pesawatku berangkat pukul 15.40
WIB Rabu ini. Mungkin aku takkan pernah bisa menemui kamu lagi.
Dita, kuharap kamu ada di sana mengantarkanku. Aku tahu itu tak mungkin,
mengingat kebencianmu yang sebegitu dalamnya padaku. Tapi tak ada
salahnya bermimpi, bukan?
Mengingat segala yang lalu, aku mungkin tak berharga bagimu.
Tapi… sekali saja. Yang terakhir.
Karena aku masih mencintai kamu…..
Lucas
…
Luke, aku tak pernah tidak membaca surat yang kamu berikan padaku.
Bahkan surat bunuh diri yang kamu kirim sebelum kamu overdosis dan masuk
rumah sakit. Aku tahu, Luke. Aku tahu semua tentangmu. Tapi aku takut,
Luke. Aku takut. Kuremas surat itu dan mulai menangis lagi.
Kutatap foto di atas meja. Saat benih terasa begitu indah. Ya Tuhan,
mengapa aku tak bisa melupakannya. Bahkan setelah berbulan-bulan? Apakah
aku masih mencintainya?
Malam itu aku menangis sendirian. Dan aku merasakan kesepian yang dalam
itu. Kesepian sejak Lucas tak lagi dalam kehidupanku. Ya Tuhan, katakan
kalau aku salah mengambil keputusan.
Chap VII
“Alex, aku sendirian sampai di sini.”
Alex menatapku dengan sendu, tatapan mata yang terlau sering kulihat akhir-akhir ini. “Take care, Dee.”
“Kalau dia memintamu kembali, tolak saja!” Vanka mendesis seraya memelukku.
“Vanka!” Alex menyergah.
Dengan mengusap air mata aku tersenyum dan berlari memasuki hall
keberangkatan. Ya Tuhan, sekali lagi kumohon. Jangan sampai aku salah.
Kulihat pemuda itu memeluk kedua mama dan papanya. Ah, betapa kurusnya
pemuda itu sekarang. Tulang pipinya tampak cekung dan kantung matanya
menghitam. Tanpa sadar air mata keluar lagi membasahi pipiku. Tapi aku
masih tidak juga berani keluar dari baik tembok ini. Aku hanya berharap
pemuda itu melirik ke arahku. Tapi pemuda itu tidak meluruskan kepalanya
sama sekali.
Menunduk dan tetap menunduk, seolah tak ingin menatap dunia.
Apa yang sudah kulakukan padanya? Apa??
Apa yang kulakukan sekarang?!!
“Dee,” bibir pemuda itu bergerak saat menatapku melangkah ke arahnya.
Kuhentikan langkahku dan tak tahan lagi tubuhku terjatuh. Orang-orang
mulai mengerumuniku. Seorang penjaga toko membantuku berdiri.
“Dee,” kurasakan telingaku basah saat pemuda itu menyahutku dan
memelukku erat. Erat sekali. Semua kerinduan dalam hatiku tumpah
serentak. Aku masih mencintainya!
Sekian lamanya kami berpelukan seolah tak ingin terlepas.
“Aku mencintaimu, Dee. Aku minta maaf. Aku minta maaf.”
Lucas menangis di bahuku seperti seorang anak kecil. Kupejamkan mataku
dan membelai rambutnya. “Aku juga, Luke,” desisku lirih, “aku juga.”
“Pesawat Garuda jurusan Jakarta dengan nomor penerbangan GA 718 akan
segera diberangkatkan. Bagi seluruh penumpang diharapkan segera menuju
ke ruang keberangkatan.”
Kudorong pundak pemuda itu menjauh dan menganggukkan kepalaku. Sebuah
tangan menepuk pundak Lucas. “Ayo, Luke. Kamu harus berangkat sekarang.”
Kuangkat kepalaku dan menatap wajah ayah Lucas, pria itu tersenyum dan
mengangguk ke arahku seolah ingin mengucapkan terima kasih tanpa
kata-kata.
“Dee,” Lucas menghapus air matanya dan tersenyum menatapku.
“Apa, Luke?”
Lepasnya kerinduan ini begitu singkat.
“Kamu menungguku? Aku akan mencoba berubah.”
“Ssshh,” bisikku lalu mengecup pipinya, tak perduli ada kedua orang tuanya di situ, dan mata-mata yang menatap kami.
“I’m your dreampatcher, remember that?”
Lucas mengangguk, tersenyum, lalu merangkul kedua orang tuanya. Kulihat
ibu Lucas menangis, sementara ayahnya memeluk dan menenangkan.
“Bye, Dee.” Lucas menatap terakhir kalinya ke arahku sebelum melangkah tanpa menoleh lagi menuju ruang keberangkatan.
“Ayo, Nak. Kita pulang,” kudengar ayah Lucas memanggilku `nak’ serasa sebuah simfoni indah yang mengalun lembut di telingaku.
“Permisi, Pak,” ucapku lalu segera berlari menembus penjaga ruang keberangkatan
“Loh, Mbak! Mbak!!”
Mereka mengejarku. Aku tak perduli.
Kucari Lucas dengan pandangan mataku.
“LUKE!! AKU MENCINTAIMU!!!” teriakku membuat orang-orang memandang ke
arahku. Lucas menolehkan kepalanya dan berlari memelukku, berputar dan
mengecup keningku.
“Aku juga, Dreampatcher. Aku juga.”
Dan aku menangis di dadanya.
Petugas keamanan hanya menggaruk-garuk kepala mereka sambil
tersenyum-senyum. Akhirnya mereka membiarkanku menatap keberangkatan
pesawat yang ditumpangi Lucas, sampai akhirnya pesawat itu menghilang di
balik awan.
Cintaku berangkat jauh, tapi tidak sejauh itu di hatiku.
Kutunggu dia pulang untuk bersama membaca mimpi-mimpinya.
Dan akan kuwujudkan dengan cinta dan kasih sayangku.
Karena aku adalah… dreampatcher-nya.
So it told that when dreams come true
Then the sadness be blown away
When the path is clear and the dream patched
Suddenly happiness answers the pray
How long will it still
I think it’s forever